
Suasana politik di Myanmar kembali memanas menjelang pelaksanaan pemilu yang digagas oleh rezim militer
Rencana pemungutan suara tersebut memicu gelombang protes keras, terutama dari komunitas warga eksil yang kini menetap di luar negeri.
Para warga yang terpaksa meninggalkan tanah air mereka itu secara terang-terangan menyebut agenda ini sebagai sebuah pertunjukan palsu. Mereka menilai bahwa langkah militer hanyalah upaya untuk melegitimasi kekuasaan yang direbut paksa beberapa waktu lalu.
Pengecaman ini muncul karena kondisi di dalam negeri Myanmar sendiri dianggap belum stabil untuk menyelenggarakan proses demokrasi yang adil. Sebagian besar tokoh oposisi masih berada di balik jeruji besi atau hidup dalam persembunyian yang sangat berbahaya.
Bagi para pengamat dan warga eksil, pemilu ini tidak lebih dari sekadar manipulasi politik di hadapan mata dunia internasional. Mereka meragukan transparansi dan integritas dari setiap tahapan yang dijalankan oleh komisi pemilihan bentukan militer tersebut.
Kritik tajam terus mengalir melalui berbagai forum internasional tempat para pelarian politik ini menyuarakan aspirasi mereka. Keinginan militer untuk mengadakan pemilu dianggap sebagai penghinaan terhadap perjuangan rakyat yang menginginkan kembalinya pemerintahan sipil yang sah.
Banyak warga Myanmar di luar negeri merasa bahwa suara mereka telah dirampas sejak awal oleh pihak junta.
Partisipasi publik yang diharapkan oleh militer kemungkinan besar hanya akan diisi oleh tekanan dan paksaan di lapangan.
Situasi di Myanmar memang belum menunjukkan tanda-tanda mereda sejak pergolakan besar beberapa tahun silam. Konflik bersenjata di berbagai wilayah perbatasan masih terus terjadi antara militer dan kelompok etnis bersenjata serta pasukan pertahanan rakyat.
Bagaimana mungkin pemilu bisa berlangsung jujur di tengah desing peluru dan ketakutan warga? Pertanyaan ini menjadi dasar utama penolakan yang diteriakkan oleh para aktivis eksil yang tersebar di Thailand, Amerika Serikat, hingga Eropa.
Mereka menuntut agar komunitas internasional tidak memberikan pengakuan apa pun terhadap hasil pemilu yang diselenggarakan militer tersebut.
Dukungan asing terhadap proses ini hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat yang merindukan kebebasan.
Kritik ini bukan tanpa dasar, mengingat banyak partai politik yang telah dibubarkan secara sepihak oleh otoritas militer. Tanpa adanya lawan politik yang nyata, pemilu ini hanya akan menjadi panggung sandiwara bagi satu pihak saja.
Para pelarian politik ini menegaskan bahwa legitimasi sejati hanya bisa datang dari rakyat tanpa adanya todongan senjata di tempat pemungutan suara.
Mereka menggunakan istilah pertunjukan palsu untuk menggambarkan betapa tidak berharganya proses yang sedang dipersiapkan oleh junta.
Narasi yang dibangun oleh militer bahwa pemilu akan membawa stabilitas justru dianggap sebagai bualan oleh para penentangnya. Sebaliknya, agenda tersebut diperkirakan akan memicu resistensi yang lebih besar di dalam negeri maupun tekanan diplomatik dari luar.
Eksil Myanmar di berbagai negara kini aktif menggalang dukungan untuk memboikot atau setidaknya mendelegitimasi setiap klaim kemenangan militer nantinya. Mereka ingin dunia tahu bahwa apa yang terjadi di Myanmar bukanlah sebuah proses transisi demokrasi yang sehat.
Ketegangan ini menunjukkan betapa dalamnya jurang pemisah antara penguasa militer saat ini dengan aspirasi masyarakat sipil. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh junta selalu dipandang dengan penuh kecurigaan dan rasa tidak percaya oleh rakyatnya sendiri.
Penderitaan warga yang kehilangan rumah dan sanak saudara akibat konflik domestik menjadi motor penggerak kritik keras ini.
Bagi mereka, tidak ada kata kompromi untuk sebuah kekuasaan yang ditegakkan di atas penderitaan orang banyak.
Identitas politik Myanmar kini sedang berada di persimpangan jalan yang sangat krusial dan menentukan masa depan bangsa tersebut. Warga eksil tetap memegang teguh keyakinan bahwa demokrasi tidak bisa lahir dari sebuah kediktatoran militer yang represif.
Pertunjukan palsu yang mereka maksud mencakup segala hal, mulai dari pendaftaran pemilih yang cacat hingga pembatasan kampanye bagi pihak-pihak di luar lingkaran junta. Semua elemen ini dianggap sudah diatur sedemikian rupa untuk memastikan kemenangan pihak tertentu.
Upaya militer untuk menarik simpati global melalui jalur pemilu tampaknya akan menemui jalan buntu yang sangat terjal.
Penolakan dari warga eksil adalah bukti nyata bahwa legitimasi internal maupun eksternal masih sangat sulit didapatkan oleh rezim tersebut.
Konflik yang berkepanjangan ini telah menciptakan gelombang pengungsi yang sangat besar ke negara-negara tetangga. Para pengungsi ini membawa cerita tentang ketidakadilan yang mereka alami, memperkuat argumen bahwa pemilu bukanlah solusi saat ini.
Kehidupan di bawah bayang-bayang militer selama bertahun-tahun telah meninggalkan trauma yang sulit dihapus bagi sebagian besar penduduk. Oleh karena itu, ajakan untuk ikut serta dalam pemilu bentukan militer dipandang sebagai lelucon yang sangat menyakitkan.
Masa depan Myanmar masih dipenuhi dengan awan gelap ketidakpastian yang sangat pekat. Namun, suara-suara dari warga eksil memastikan bahwa api perjuangan untuk demokrasi yang sesungguhnya belum padam sepenuhnya.
Setiap pernyataan yang mereka keluarkan adalah pengingat bagi dunia bahwa ada krisis yang belum tuntas di jantung Asia Tenggara.
Pemilu militer mungkin saja terlaksana, namun pengakuan dari rakyat tetaplah menjadi sesuatu yang mustahil untuk mereka beli.
Perjuangan ini bukan lagi sekadar perebutan kursi kekuasaan, melainkan pertarungan nilai tentang bagaimana sebuah negara seharusnya dikelola. Rakyat Myanmar di pengasingan akan terus menjadi pengawas paling vokal terhadap setiap manuver politik yang dilakukan oleh militer di tanah kelahiran mereka.